Kamis, 06 Desember 2012

Mendidik Anak Sesuai Dengan Zamannya


Umar bin Khatab, seorang bijak yang hidup di abad ke 7 masehi, memberikan pernyataan yang sangat terkenal :

             
“Didiklah anak-anakmu, karena mereka akan hidup pada zaman yang berbeda dengan zamanmu”
Suatu pernyataan yang seolah sangat sederhana, tetapi memiliki aplikasi yang cukup rumit di dalam pelaksanaannya. Jangankan kita membandingkan dengan kondisi sekitar 14 abad yang lampau, dengan 40-50 tahun yang lampau saja dengan kondisi di Indonesia, tantangan di dalam membesarkan dan mendidik anak-anak sangatlah berbeda.

Fenomena yang paling menonjol adalah perbedaan dalam hal menanamkan kebutuhan-kebutuhan dasar yang dibutuhkan seorang anak untuk membekali dirinya sendiri dalam menghadapi masa depannya. Misalnya Anak di zaman dahulu lebih mandiri terhadap pendidikan mereka sendiri, sedangkan orang tua hanya sebagai pendukung. Banyak fakta menunjukkan itu. Antara lain, tak sedikit anak zaman dahulu yang mendaftarkan sendiri ketika mereka masuk SMP, SMA, terlebih perguruan tinggi. Sedangkan anak zaman sekarang sepertinya berbanding terbalik dengan hal itu. Sekarang, justru orang tua yang terlihat sibuk terhadap pendidikan anak-anak mereka padahal pada saat bersamaan, anak justru terlihat tenang dan sangat tergantung dengan orang tua. Tanpa disadari usia terus bertambah sementara kecemasan orang tua bukannya berkurang.

Anak dan Remaja bukan yang sama sekali tidak mempedulikan pendidikan mereka, tetapi ‘belajar’ seringkali dipersepsikan sebagai kegiatan yang membebani dan mereka terlihat asyik dengan minat-minat pribadinya sendiri yang bersifat spesifik. 

FENOMENA YANG TERJADI SAAT INI

Sebagai praktisi di bidang Psikologi Pendidikan dan Keluarga, kami mendapatkan begitu banyak rekaman hasil pemeriksaan Psikologi (psikotes) yang memperlihatkan anak-anak Indonesia di usia 5 – 6 tahun, sudah memiliki kematangan berpikir yang baik. Mereka memiliki daya tangkap menerima informasi baru yang cepat, memiliki pengamatan yang tajam, daya pikir kritis sudah terasah sejak kecil dan daya ingat yang kuat. Tetapi di sisi lain kami pun banyak mendapatkan hasil yang memperlihatkan kondisi perkembangan dengan kecepatan perkembangan pola pikir kurang diimbangi dengan kematangan kemampuan koordinasi motorik dan kematangan emosi yang memadai. 

Kondisi ini tentunya mempengaruhi tampilan si anak dalam keseharian, walaupun ia memiliki daya pikir yang kuat, mampu menganalisa, pandai memanipulasi orang dewasa untuk mendapatkan yang ia inginkan, tetapi jika ia dilibatkan dalam pekerjaan atau tugas yang bersifat praktis dalam keseharian, terlihat cara kerja yang kurang terampil. Mulai dari persiapan yang terlihat lama, harus diingatkan berkali-kali, kemudian dalam prosesnya pun cenderung cepat menyerah atau cepat ingin selesai, hasil akhir yang ditampilkan tentunya kurang memuaskan dari segi kualitas. Sikap kerja mereka terburu-buru, ingin cepat segera terhindar dari tugas yang kurang menyenangkan. Dan jika orang dewasa menghentikan pemberian tugas tersebutpun sebenarnya anak-anak ini hanya akan melakukan aktivitas-aktivitas yang sebenarnya tidak terlalu produktif. Di usia TK misalnya mereka lebih banyak menghabiskan waktu di depan TV atau berjalan ke sana kemari di sekitar rumahnya (karena banyak yang tidak boleh bermain di luar rumah), anak-anak usia SD pun sibuk dengan mainan yang sedang trend saat itu, bermain game atau menonton TV. Untuk usia remaja mereka lebih banyak menghabiskan waktu dengan berkumpul bersama teman sebayanya, pergi ke tempat-tempat di mana banyak juga seusia mereka berkumpul (seringkali mall) dan kurang mempedulikan apakah tugas yang telah mereka selesaikan sudah memenuhi target yang diberikan. 

Sementara untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari mereka yang bersifat rutin sudah ada yang memikirkan, apakah orang tuanya ataukah pengasuh jika orang tua keduanya bekerja. Sehingga anak-anak ini terbentuk menjadi anak-anak yang sibuk berpikir dan mencari apa yang bisa membuat dirinya tidak bosan, tetapi mereka sendiri kurang memahami kebutuhan dasar yang seharusnya mereka penuhi terlebih dahulu. Sudah banyak kasus yang memperlihatkan anak dan remaja terlalu asyik main game sehingga lupa mandi dan makan. Anak TK dan SD sibuk memikirkan mainan apa yang akan dibawa ke mobil agar tidak bosan di perjalanan menuju sekolah, tetapi isi tas mereka mengenai apa yang seharusnya mereka bawa ke sekolah, sudah ada yang mengatur dan menyusunkan. Jika ada yang tertinggal saat mereka di sekolah, adalah suatu pemandangan yang wajar tetapi sebenarnya menyedihkan karena anak-anak ini akan menyalahkan orang tua atau pengasuh yang salah dalam memasukkan barang kebutuhan mereka ke dalam tasnya. Anak-anak tinggal menelepon ke rumah, bahkan ada yang sambil memarahi atau merengek-rengek, dan meluncurlah bapak, ibu, pembantu atau sopir mengantarkan kebutuhan mereka ke sekolah. Jika ditanyakan kepada orang tua mengapa semudah itu anak mendapatkan bantuan, orang tua akan beralasan bahwa itu dilakukan agar anak-anak dapat lebih konsentrasi belajar karena jaman sekarang materi pelajaran di sekolah semakin berat dan pekerjaan rumah semakin banyak. Padahal yang terjadi adalah semakin banyak bantuan yang diberikan, kebutuhan seseorang untuk melakukan sendiri pun semakin menurun, ia akan lebih banyak mengandalkan orang lain. Anak-anak dan remaja dengan banyaknya bantuan dan permakluman seperti ini lebih banyak yang tumbuh sebagai seorang yang kurang percaya diri, mudah mengeluh, mudah mencari bantuan, motivasi berusaha kurang, tidak siap gagal dan pada akhirnya menjadi seorang yang egois karena ingin orang lain memaklumi kekurangan dirinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar