Umar
bin Khatab, seorang bijak yang hidup di abad ke 7 masehi, memberikan pernyataan
yang sangat terkenal :
“Didiklah
anak-anakmu, karena mereka akan hidup pada zaman yang berbeda dengan zamanmu”
Suatu
pernyataan yang seolah sangat sederhana, tetapi memiliki aplikasi yang cukup
rumit di dalam pelaksanaannya. Jangankan kita membandingkan dengan kondisi
sekitar 14 abad yang lampau, dengan 40-50 tahun yang lampau saja dengan kondisi
di Indonesia, tantangan di dalam membesarkan dan mendidik anak-anak sangatlah
berbeda.
Fenomena
yang paling menonjol adalah perbedaan dalam hal menanamkan kebutuhan-kebutuhan
dasar yang dibutuhkan seorang anak untuk membekali dirinya sendiri dalam
menghadapi masa depannya. Misalnya Anak di zaman
dahulu lebih mandiri terhadap pendidikan mereka sendiri, sedangkan orang tua
hanya sebagai pendukung. Banyak fakta menunjukkan itu. Antara lain, tak sedikit
anak zaman dahulu yang mendaftarkan sendiri ketika mereka masuk SMP, SMA,
terlebih perguruan tinggi. Sedangkan anak zaman sekarang sepertinya berbanding
terbalik dengan hal itu. Sekarang, justru orang tua yang terlihat sibuk
terhadap pendidikan anak-anak mereka padahal pada saat bersamaan, anak justru
terlihat tenang dan sangat tergantung dengan orang tua. Tanpa disadari
usia terus bertambah sementara kecemasan orang tua bukannya berkurang.
Anak dan Remaja bukan yang sama sekali tidak mempedulikan
pendidikan mereka, tetapi ‘belajar’ seringkali dipersepsikan sebagai kegiatan
yang membebani dan mereka terlihat asyik dengan minat-minat pribadinya sendiri
yang bersifat spesifik.
FENOMENA
YANG TERJADI SAAT INI
Sebagai
praktisi di bidang Psikologi Pendidikan dan Keluarga, kami mendapatkan begitu
banyak rekaman hasil pemeriksaan Psikologi (psikotes) yang memperlihatkan
anak-anak Indonesia di usia 5 – 6 tahun, sudah memiliki kematangan berpikir
yang baik. Mereka memiliki daya tangkap menerima informasi baru yang cepat,
memiliki pengamatan yang tajam, daya pikir kritis sudah terasah sejak kecil dan
daya ingat yang kuat. Tetapi di sisi lain kami pun banyak mendapatkan hasil
yang memperlihatkan kondisi perkembangan dengan kecepatan perkembangan pola
pikir kurang diimbangi dengan kematangan kemampuan koordinasi motorik dan
kematangan emosi yang memadai.
Kondisi
ini tentunya mempengaruhi tampilan si anak dalam keseharian, walaupun ia
memiliki daya pikir yang kuat, mampu menganalisa, pandai memanipulasi orang
dewasa untuk mendapatkan yang ia inginkan, tetapi jika ia dilibatkan dalam
pekerjaan atau tugas yang bersifat praktis dalam keseharian, terlihat cara
kerja yang kurang terampil. Mulai dari persiapan yang terlihat lama, harus
diingatkan berkali-kali, kemudian dalam prosesnya pun cenderung cepat menyerah
atau cepat ingin selesai, hasil akhir yang ditampilkan tentunya kurang
memuaskan dari segi kualitas. Sikap kerja mereka terburu-buru, ingin cepat
segera terhindar dari tugas yang kurang menyenangkan. Dan jika orang dewasa
menghentikan pemberian tugas tersebutpun sebenarnya anak-anak ini hanya akan
melakukan aktivitas-aktivitas yang sebenarnya tidak terlalu produktif. Di usia
TK misalnya mereka lebih banyak menghabiskan waktu di depan TV atau berjalan ke
sana kemari di sekitar rumahnya (karena banyak yang tidak boleh bermain di luar
rumah), anak-anak usia SD pun sibuk dengan mainan yang sedang trend saat itu,
bermain game atau menonton TV. Untuk usia remaja mereka lebih banyak menghabiskan
waktu dengan berkumpul bersama teman sebayanya, pergi ke tempat-tempat di mana
banyak juga seusia mereka berkumpul (seringkali mall) dan kurang mempedulikan
apakah tugas yang telah mereka selesaikan sudah memenuhi target yang diberikan.
Sementara
untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari mereka yang bersifat rutin sudah ada yang
memikirkan, apakah orang tuanya ataukah pengasuh jika orang tua keduanya
bekerja. Sehingga anak-anak ini terbentuk menjadi anak-anak yang sibuk berpikir
dan mencari apa yang bisa membuat dirinya tidak bosan, tetapi mereka sendiri
kurang memahami kebutuhan dasar yang seharusnya mereka penuhi terlebih dahulu.
Sudah banyak kasus yang memperlihatkan anak dan remaja terlalu asyik main game
sehingga lupa mandi dan makan. Anak TK dan SD sibuk memikirkan mainan apa yang
akan dibawa ke mobil agar tidak bosan di perjalanan menuju sekolah, tetapi isi
tas mereka mengenai apa yang seharusnya mereka bawa ke sekolah, sudah ada yang
mengatur dan menyusunkan. Jika ada yang tertinggal saat mereka di sekolah,
adalah suatu pemandangan yang wajar tetapi sebenarnya menyedihkan karena
anak-anak ini akan menyalahkan orang tua atau pengasuh yang salah dalam
memasukkan barang kebutuhan mereka ke dalam tasnya. Anak-anak tinggal menelepon
ke rumah, bahkan ada yang sambil memarahi atau merengek-rengek, dan meluncurlah
bapak, ibu, pembantu atau sopir mengantarkan kebutuhan mereka ke sekolah. Jika
ditanyakan kepada orang tua mengapa semudah itu anak mendapatkan bantuan, orang
tua akan beralasan bahwa itu dilakukan agar anak-anak dapat lebih konsentrasi
belajar karena jaman sekarang materi pelajaran di sekolah semakin berat
dan pekerjaan rumah semakin banyak. Padahal yang terjadi adalah semakin banyak
bantuan yang diberikan, kebutuhan seseorang untuk melakukan sendiri pun semakin
menurun, ia akan lebih banyak mengandalkan orang lain. Anak-anak dan remaja
dengan banyaknya bantuan dan permakluman seperti ini lebih banyak yang tumbuh
sebagai seorang yang kurang percaya diri, mudah mengeluh, mudah mencari
bantuan, motivasi berusaha kurang, tidak siap gagal dan pada akhirnya menjadi
seorang yang egois karena ingin orang lain memaklumi kekurangan dirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar